Pyzam Glitter Text Maker





Senin, 26 Januari 2009

Unjuk rasa Buruh SPN


SERUAN BAGI KAUM BURUH DIMANAPUN BERADA
RAPATKAN BARISAN!! SATUKAN TEKAD TUK BERJUANG DEMI KESEJAHTERAAN BURUH.


BERGABUNGLAH DENGAN SPN!!
S P N (SERIKAT PEKERJA NASIONAL)

Dulu saya pernah menjadi Wakil Ketua dan kemudian menjadi Ketua PSP SPN sebuah perusahaan garment di Cimahi Jawa barat. Yang saat itu DPC SPN CIMAHI masih di ketuai Oleh Bp. Aso Sobari yang juga menjabat sebagai sesepuh perTAPA SPN. Salam tuk Pak Aso, Mas Suhartono dan pengurus DPC dan PSP yang lain. Terima kasih banyak.
Salam hormat saya haturkan kepada SELURUH JAJARAN PENGURUS SPN mulai dari tingkat pusat (DPP),DPD,DPC,PSP sampai paling bawah. (kalau perlu bayi yang belum lahirpun boleh).he..hee.. BRAVO SPN!!!


Photo-photo demo dari kelompok buruh yang tergabung dalam SPN ( Serikat Pekerja Nasional ) yang berlangsung sekitar 4 jam.
Pendemo yang berjumlah sekitar 500 orang datang dari Bandung dan JABODETABEK, menuntut agar uang makan dan transportasi di naikkan, selain itu juga menolak kenaikan BBM.
Aksi unjuk rasa tidak terlalu mengganggu lalulintas dari Semanggi ke Slipi. Dan puluhan petugas kepolisian mengamankan di sekitar lokasi demo di depan DPR/MPR.

JANGAN LUPA BACA JUGA UU NO 13 TAHUN 2003 DAN UU KETENAGA KERJAAN YANG LAIN

Minggu, 25 Januari 2009

Upami bade download Murottal Al-qur'an

http://english.islamway.com/bindex.php?section=echapters&recitor_id=5

9 KUNCI POKOK SISTEM


SEMBILAN KUNCI POKOK

Dalam Penjelasan UUD 1945, sistem pemerintahan diuraikan pada tujuh angka (Romawi) sehingga dikenal dengan istilah ”Tujuh Kunci Pokok”. Padahal sistem itu sesungguhnya terdiri atas sembilan pokok. Dua pokok tidak diberi angka Romawi. Inilah tujuh kunci itu: I. Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat); II. Sistem Konstitusional; III. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR; IV. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah majelis. Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab ada di tangan presiden (concentration of power and responsibility upon the President); V. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR; VI. Menteri negara ialah pembantu presiden; menteri negara tidak bertanggung jawab kepada DPR; VII. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.

Inilah kunci pokok yang tidak diberi angka Romawi: kedudukan DPR kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Selain itu, anggota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR. Karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden dan jika dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa untuk meminta pertanggungjawaban kepada presiden.

Ini pun kunci pokok yang tidak diberi angka Romawi: menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa. Meskipun kedudukan menteri negara bergantung pada presiden, mereka bukan pegawai tinggi biasa. Sebab, menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir executif) dalam praktek.

Sebagai pemimpin departemen, menteri mengetahui seluk-beluk lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu, menteri mempunyai pengaruh besar terhadap presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai departemennya. Memang yang dimaksudkan ialah para menteri itu pemimpin-pemimpin negara.

Untuk menetapkan politik pemerintah dan koordinasi dalam pemerintahan negara, para menteri bekerja bersama satu sama lain seerat-eratnya di bawah pimpinan presiden.

Kunci pokok IV dan dua kunci pokok terakhir yang tidak berangka Romawi dimuat lengkap karena di situ terjadi kontroversi. Di kunci pokok IV dinyatakan bahwa ”concentration of power and responsibility upon the President”—inilah penyebab UUD 1945 dinilai sebagai executive heavy. Padahal kekuasaan presiden sudah diimbangi (balance) oleh kunci pokok yang menyebutkan DPR tidak bisa dibubarkan oleh presiden, bahwa DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan presiden, dan bahwa DPR dapat mengusulkan kepada MPR agar mengadakan sidang istimewa untuk minta pertanggungjawaban presiden.

Kunci pokok terakhir mengenai pembatasan hak prerogatif presiden, agar presiden benar-benar cermat memilih para menterinya dan juga tidak seenaknya memberhentikan para pemimpin negara itu.

Kunci pokok I dan II yang menyatakan bahwa Indonesia ialah negara berdasar atas hukum dan sistem konstitusional menunjukkan bahwa Indonesia menganut asas rule of law dan limited government—wewenang pemerintah harus dibatasi. Rule of law yang terdiri atas supremasi hukum, persamaan di depan hukum, dan konstitusi yang berdasar hak asasi manusia terdapat di UUD 1945.

Memang hanya hak asasi manusia terpenting yang dicantumkan dalam UUD 1945 (kemerdekaan memeluk agama, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan ataupun tulisan, persamaan di depan hukum dan pemerintahan, hak mendapat pengajaran, hak pembelaan negara, dan hak fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara). Tapi itu tidak berarti para penyelenggara bisa berbuat sewenang-wenang.

Prakteknya para penyelenggara negara di masa revolusi punya kesadaran tinggi terhadap hak asasi manusia. Bandingkan UU Keadaan Bahaya No. 6/1946 yang berlaku di masa revolusi dengan Perpu No. 23/1959 yang dijadikan undang-undang dan tetap berlaku di era reformasi.

Menanggapi aksi rakyat yang mengarah ke anarki, pejabat diturunkan atau ”didaulat” oleh massa yang beringas, maka pada 27 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat: ”Pemerintah Indonesia berdasar atas hukum. Hanya pemerintahlah yang berhak menjalankan hukuman dengan perantaraan mahkamahnya. Orang seorang atau golongan tidak boleh menjalankan hukuman sendiri. Segala tindakan yang bercorak Nazi dan Fascis harus dibuang, karena bertentangan dengan kedaulatan rakyat.”

Membagi Kekuasaan

Di zaman revolusi, pelaksanaan UUD 1945 mengalami modifikasi. Pada 16 Oktober 1945, keluar maklumat wakil presiden yang mengubah KNIP menjadi Badan Legislatif. Pada 14 November 1945 dibentuk Kabinet Sjahrir I. Presiden Sukarno mengubah sifat kabinet presidensial dari eksekutif tunggal menjadi dual executive.

Kekuasaan presiden dibagi dengan perdana menteri. Presiden bertanggung jawab kepada MPR, menteri bertanggung jawab kepada DPR. Menteri Penerangan menjelaskan alasan-alasannya dalam Berita Republik Indonesia, 24 November 1945 (Tahun I Nomor 2). Alasan utamanya: UUD kita masih sementara, kita menyelenggarakan pemerintahan dengan konvensi sampai terbentuknya UUD yang tetap.

Pada 1959, setelah kita kembali ke UUD 1945, Presiden Sukarno membagi kekuasaannya dengan perdana menteri atau gelar lainnya, menteri pertama.

Dual executive sering juga disebut semipresidensial seperti di Republik V Prancis. De Gaulle menginginkan adanya presiden yang kuat, yang dapat mengatasi ancaman dan tantangan dengan cepat. Dual executive Prancis menunjukkan bahwa kekuasaan itu dapat diatur ”terpisah dan terlebur pada waktu bersamaan” (separated and fused at the same time). Gaya Prancis terbukti dapat berjalan meski presiden dan perdana menteri berasal dari partai berbeda.

Ada pula dual executive Portugal yang lebih cenderung ke sistem parlementer. Di Amerika Latin—Brasil, Argentina, dan Bolivia, yang menyebut sistemnya presidensial—UUD-nya menyatakan para menteri bertanggung jawab kepada parlemen.

Sementara itu, yang kini disoroti oleh para pengamat kritis hanya kekurangan dari sistem presidensial kita—bahkan ada yang menyebutnya ”banci”. Padahal varian sistem presidensial itu banyak. Perlu kita pilih sistem presidensial yang dapat diterima kalangan luas.

CARA CEPAT DAN RINGKAS

MEMAHAMI PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN RI

Berikut merupakan uraian singkat hasil presentasi penulis sebagai pemakalah yang disampaikan pada Diskusi Ilmiah pada tanggal 17 Maret 2007 di Kedutaan Besar New Delhi. Kepada peminat hukum maupun para pengunjung yang berulang kali menanyakan materi tentang perubahan sistem ketatanegaraan kontemporer RI dan memerlukan soft copy (power point) pemaparan secara lengkap, dapat menghubungi penulis sebagai mana terlampir di akhir artikel singkat berikut ini.

A. PENDAHULUAN

Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), mempunyai karakteristik sebagai berikut:

Penyelenggaraan negara berdasar Konstitusi.

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka.

Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.

Kekuasaan yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus berdasarkan ketentuan hukum (due process of law ).

UUD 1945 –> Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman –> Lembaga Negara dan Organ yang Menyelenggarakan Kekuasaan Negara.

B. DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945

Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.

Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.

UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).

UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.

Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:

a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.

b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.

c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.

d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.

C. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966:

UUD 1945

TAP MPR

UU/PERPU

Peraturan Pemerintah

Keputusan Presiden

Peraturan Menteri

Instruksi Menteri

Menurut TAP MPR III Tahun 2000:

UUD 1945

TAP MPR

UU

PERPU

PP

Keputusan Presiden

Peraturan Daerah

Menurut UU No. 10 Tahun 2004:

UUD 1945

UU/PERPU

Peraturan Pemerintah

Peraturan Presiden

Peraturan Daerah

D. KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945

Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.

Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.

Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.

Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.

E. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945

Deskripsi Singkat Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum Amandemen UUD 1945:

Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

MPR

Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.

Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan yang diangkat.

Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:

Presiden, sebagai presiden seumur hidup.

Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut.

Memberhentikan sebagai pejabat presiden.

Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya.

Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai presiden.

Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR.

PRESIDEN

Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.

Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president).

Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).

Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.

Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.

DPR

Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.

Memberikan persetujuan atas PERPU.

Memberikan persetujuan atas Anggaran.

Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.

DPA DAN BPK

Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.

F. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945

Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah” Amandemen UUD 1945:

Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Perubahan (Amandemen) UUD 1945:

Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.

Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim.

Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.

Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.

Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.

Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.

MPR

Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.

Menghilangkan supremasi kewenangannya.

Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.

Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).

Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.

Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.

DPR

Posisi dan kewenangannya diperkuat.

Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.

Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.

Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.

DPD

Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.

Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.

Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.

Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.

BPK

Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.

Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.

Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.

PRESIDEN

Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.

Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.

Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.

Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.

Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.

Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.

MAHKAMAH AGUNG

Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].

Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.

Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.

MAHKAMAH KONSTITUSI

Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).

Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.

Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.


UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA 1945

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD '45, adalah konstitusi negara Republik Indonesia saat ini.

UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.

Pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Naskah Undang-Undang Dasar 1945

Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.

Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 73 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.

Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

Sejarah

Sejarah Awal

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 Ir.Sukarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Kemudian BPUPK membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang untuk menyempurnakan rumusan Dasar Negara. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPK membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Periode berlakunya UUD 1945 18 agustus 1945- 27 desember 1949

Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.

Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 27 desember 1949 - 17 agustus 1950

Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer.

Periode UUDS ' 50 17 agustus 1950 - 5 juli 1959

Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer.

Periode kembalinya ke UUD 1945 5 juli 1959-1966

Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.

Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:

Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara

MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup

Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia

Periode UUD 1945 masa orde baru 11 maret 1966- 21 mei 1998

Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada fihak swasta untuk menghancur hutan dan sumberalam kita.

Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", diantara melalui sejumlah peraturan:

Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

Periode 21 mei 1998- 19 oktober 1999

Pada masa ini dikenal masa transisi.

Periode UUD 1945 Amandemen

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:

Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945

Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945

Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945

Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945